Wednesday 15 August 2012

Yang Terlupakan

Hiruk-pikuk orang tua yang sibuk mencari sekolah untuk anak-anaknya, baik ditingkat SD, SLTP, SLTA, maupun Perguruan Tinggi usai sudah. Wajah-wajah ceria dengan seragam baru menghiasi jalan-jalan di pagi hari. Tas dan sepatu baru melengkapi keceriaan mereka.
Nun di sudut sana, beberapa pasang mata polos memandang mereka dengan iri. Kapan aku bisa seperti mereka? Bercanda riang bersama teman ketika berangkat dan pulang sekolah? Mungkin pertanyaan seperti itu yang ada dalam dibalik tatapan polos mereka. Pendidikan murah bukan jalan utama untuk mereka memasuki gerbang pendidikan dasar. Masih ada pakaian seragam, sepatu, dan alat tulis yang wajib disediakan oleh orang tua mereka. Jumlahnya sekitar Rp 450.000 per anak untuk pembelian pakaian seragam, sepatu, dan alat tulis. Untuk sebagian orang, menyebut angka diatas dengan amat sangat ringannya, tetapi bagi orang tua mereka, jumlah itu setengah dari pendapatan per bulan.
Mereka adalah anak-anak buruh pencetak genteng yang sehari-sehari akrab dengan kekurangan. Orang tua mereka mencari tambahan biaya hidup dengan menjadi pemulung, buruh cuci setrika, atau pembantu rumah tangga. Besarnya biaya yang harus mereka keluarkan pada awal tahun ajaran baru, memaksa mereka memupus harapan putra-putri mereka menjadi bagian dari keceriaan di pagi atau siang hari selepas jam sekolah. Bahkan untuk bergabung dengan teman-teman mereka di sekolah yang tidak memungut biaya kecuali Rp 10.000 sebagai biaya pendaftaran, mereka tidak mampu. Sekolah tanpa biaya? Ya, sebuah Madrasah Ibtidaiyah, sekolah setingkat SD dengan kurikulum Depag dan Diknas,  di kawasan Cibeber-Cilegon menyediakan sekolah gratis. Siswa-siswi cukup membeli seragam masing-masing. Kualitas? Tidak adil jika kita menanyakan kualitas untuk sekolah yang tidak menarik biaya dari siswa-siswinya. Dengan tersedianya fasilitas untuk belajar saja merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Paling tidak tangga pertama program wajib belajar 9 tahun bisa dimasuki.
Siapa yang harus bertanggung jawab? jika pemerintah tidak bisa memberikan jalan keluar, maka masyarakat yang harus bahu membahu mengatasinya. Jika ada diantara pembaca yang berminat untuk berpartisipasi mengentaskan anak-anak kita yang kurang beruntung dari kebodohan silahkan menghubungi email edirosadie@yahoo.com.sg. Sekecil apapun sumbangan yang kami terima akan kami manfaatkan untuk kelangsungan belajar mereka. Saat ini ada 3 siswa/i TPA dan 4 siswa/i SD yang rutin kami berikan bantuan. 

Monday 25 July 2011

Jualan Paket

Alhamdulillah, tidak membutuhkan waktu lama untuk menjual habis paket-paket berikut :

Paket I - Putri    (1 paket)     a.n. Nengsih (5th)  

    - Biaya Pendaftaran                                      Dibebaskan
    - Sergam Batik TPA  +  Kerudung                     105,000
    - Seragam Cream TPA  +  Kerudung                 115,000
                                                           Total           220,000   

Paket II - Putra    (2 paket)     a.n. Dendi (5th), Didih (8th)
    - Biaya Pendaftaran                                      Dibebaskan
    - Seragam Batik TPA                                            80,000
    - Seragam Cream TPA                                          90,000   
    - Peci                                                                    20,000
                                                             Total           170,000  x  2 =  340.000

Dengan perincian penerimaan :

     - Tranasfer Bank        Rp  500.000 
     - Tranasfer Bank        Rp  170.000
     - Tunai                       Rp  220.000
                      Total          Rp  870.000



Hal ini menunjukkan masih banyak dari kita yang peduli akan saudara-saudara kita yang kekurangan. Ketiadaan informasi terkadang menjadi penghalang, ke mana bantuan harus disalurkan. Keraguan akan besarnya bantuan yang akan diberikan, ditambah dengan kekhawatiran kurangnya sumbangan bagi penerima membuat  para calon dermawan menunda bantuan. 

Hanya ucapan  jazakumullah khair  yang bisa kami ucapkan, mudah-mudahan Allah membalas kemurahan hati para dermawan dengan balasan yang berlipat ganda sesuai janji-Nya.

Monday 11 July 2011

Pernik-Pernik Pendidikan

Bulan Juli, seolah sudah menjadi tradisi bulan sibuk untuk orang tua yang memiliki anak usia sekolah, baik yang naik kelas ataupun yang baru masuk atau memasuki jenjang yang lebih tinggi. Bulan dengan hari-hari yang diisi dengan tawa ceria anak-anak yang bertemu dengan kawan baru atau tangisan mereka yang tidak terbiasa berpisah dengan orang tuanya, terlebih dengan ibunya.

Berbeda dengan anak-anak yang tertawa lepas dan ceria, keringat dingin dirasakan oleh sebagian orang tua ketika harus melengkapi kebutuhan putra-putrinya. Untuk yang masih memiliki barang berharga, harus direlakan berpindah tangan untuk selamanya atau “dititipkan“ untuk sementara waktu.

Diantara binar dan keceriaan yang saling bersahutan, ada beberapa pasang mata  yang memandang dengan penuh harap. Apakah saya bisa seperti mereka? Seperti itulah mungkin batin mereka. Dengan penghasilan orang tua yang masih belum cukup untuk kebutuhan sehari-hari, masih mungkinkah mereka merasakan keceriaan seperti teman-temannya yang lain?

Program sekolah gratis ternyata bukan solusi yang terintegrasi. Pembebasan biaya sekolah dan sumbangan-sumbangan lainnya, tetap tidak menghilangkan kebutuhan pokok lainnya. Buku tulis, alat tulis, sepatu sekolah, seragam, dan perlengkapan-perlangkapan kecil lain termasuk biaya transportasi sehari-hari berada jauh diluar program tersebut. Program inipun mendapat perlawanan dengan senjata bernama RSBI. Ibarat sebuah gerbang, sudah terkunci rapat untuk mereka yang orang tuanya tidak memiliki penghasilan yang layak. Mereka cukup berdiri disisi luar dan harus puas melihat teman-teman mereka bermain dan belajar ditempat yang sangat layak yang tidak akan sanggup mereka injak.

Ketika kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di tempat yang dianggap layak tidak sanggup lagi untuk digapai, lembaga pendidikan lain dengan fasilitas seadanya menjadi alternatif. Tetapi apakah cukup dengan kemauan lalu semuanya selesai? Ternyata belum.  Seminim apapun kondisi dan fasilitas sekolah, siswa-siswinya tetap dituntut mengenakan pakaian seragam,  yang tentunya harus dibeli. Mengenakan seragam seperti teman-temannya yang lain juga menjadi motivasi mereka untuk semangat belajar.

Ketika orang tua tidak lagi sanggup memenuhi kebutuhan dasar anak-anaknya, siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah yang mendapatkan amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ternyata belum sepenuhnya sanggup memikul amanat secara utuh, harus ada dari kita yang harus menyelesaikan PR kecil yang tersisa. Satu PR tidak sanggup diselesaikan sendiri, bergotong royong solusinya. Masing-masing menyelesaikan bagian yang sesuai dengan kemampuannya. Siapkah Kita?

 

http://edi8586.wordpress.com/2011/07/12/pernik-pernik-pendidikan/